Minggu, 12 Oktober 2025

Kusta

  



Penyakit kusta (Morbus Hansen) 

adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang 

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium 

leprae jika tidak ditangani dapat 

menyebabkan kerusakan kulit, saraf, 

anggota gerak dan mata.1 Jalur penularan

kusta sampai saat ini belum seluruhnya 

terungkap. Faktor risiko yang 

mempengaruhi kejadian kusta di antaranya 

yaitu kontak serumah dengan penderita 

kusta, kontak tetangga, kondisi kebersihan 

perseorangan yang buruk, pengetahuan, 

jenis kelamin, status vaksinasi BCG, dan 

kondisi sosio-ekonomi.2

Lebih dari 200.000 kasus kusta baru 

ditemukan setiap tahun di dunia.3 Wilayah

dengan kasus tertinggi yaitu Asia Tenggara 

(72,1%) dan Amerika (15,3%).4 Indonesia

telah mencapai target eliminasi kusta pada 

tahun 2000, namun 13 provinsi masih 

memiliki angka prevalensi lebih dari 

1/10.000 penduduk.5 Penderita kusta di

ASEAN 2,2% dari Provinsi Jawa Timur. 

Prevalence Rate (PR) pada tahun 2016 

sebesar 1,06 per 10.000 penduduk. Sebelas 

kabupaten/kota masih memiliki PR di atas 

1/10.000 penduduk (high endemis), 

tertinggi ada di Sumenep (PR:4,38) diikuti 

Kabupaten Sampang (PR:3,69) dan paling 

rendah ada di Tulungagung (PR:0,06).6

Kemoprofilaksis adalah pemberian 

obat untuk mencegah infeksi, pada kusta 

mencegah infeksi M. leprae pada orang 

yang berisiko tinggi terpapar bakteri 

tersebut (kontak penderita).4 Kegiatan

kemoprofilaksis telah dilakukan terhadap 

kontak penderita kusta sebanyak 15.848 

orang (94,55%) dari sasaran kontak 

sebesar dengan Case Detection Rate 

sebesar 35,55 per 100.000 penduduk. 

Proporsi wanita 41% proporsi anak 17% 

dari seluruh kasus baru, yang masih tinggi 

jika dibandingkan dari target sebesar 

kurang dari 5%.6 16.762 orang di

Kabupaten Sampang sejak April 2012–

Desember 2014.7 Tahun 2016 kasus di

Kabupaten Sampang sebanyak 333 orang. 

Penelitian ini bertujuan mencari faktor-

faktor yang mempengaruhi kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis. 

Metode 

Jenis penelitian yang dilakukan 

adalah penelitian observasional dengan 

menggunakan case control study untuk 

mengetahui beberapa faktor risiko kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis. Variabel 

bebas yang diteliti meliputi tingkat 

pendidikan, status vaksinasi BCG, status 

gizi, riwayat luka terbuka, kepatuhan 

minum obat kemoprofilaksis, kondisi 

ekonomi keluarga, kebersihan perorangan 

dan kondisi rumah. 


Tingkat pendidikan terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok pendidikan rendah 

sebesar 59,7% > dibanding responden pada 

kelompok pendidikan tinggi sebesar 

40,3%. Faktor tingkat pendidikan  

berpengaruh terhadap kejadian kusta 

Elhamangto., et al.,  JEKK. 2 (2) 2017 91

©2017, JEKK, All Right Reserved 

(p=0,001; OR:2,27; 95% CI: 1,363-3,766). 

Responden dengan tingkat pendidikan 

rendah berisiko 2,27 kali tertular penyakit 

kusta dibandingkan responden dengan 

tingkat pendidikan tinggi (Tabel 1). 

Kepatuhan minum obat terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok tidak patuh minum 

obat sebesar 51,6% > dibanding responden 

pada kelompok patuh minum obat sebesar 

48,4%. Faktor kepatuhan minum obat 

berpengaruh terhadap kejadian kusta 

(p=0,05; OR: 1,63; 95%CI: 0,987-2,702). 

Responden yang tidak patuh meminum 

obat kemoprofilaksis berisiko 1,63  kali 

tertular penyakit kusta dibandingkan 

responden yang patuh meminum obat 

kemoprofilaksis (Tabel 2). 

Lama kontak terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok kontak 1 tahun 

sebesar 74,2% > dibanding responden pada 

kelompok kontak <1 tahun sebesar 48,4%. 

Faktor lama kontak berpengaruh terhadap 

kejadian kusta (p=0,035; OR: 1,814; 

95%CI: 1,075 – 3,062). Responden yang 

lama kontak dengan penderita ≥1 tahun 

berisiko 2,29 kali tertular penyakit kusta 

dibandingkan responden yang lama kontak 

<1 tahun (Tabel 3). 

Status vaksinasi BCG terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden pada kelompok 

tidak ada parut BCG dan kelompok ada 

parut BCG masing-masing 50%. Faktor 

status vaksinasi BCG merupakan faktor 

protektif terhadap kejadian kusta pasca 

kemoprofilaksis (p=0,029; OR: 0,57; 

95%CI: 0,343 – 0,947) (Tabel 4). 

Status gizi terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis  

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok gizi buruk sebesar 

74,2% > dibanding responden pada 

kelompok gizi baik sebesar 25,8%. Faktor 

status gizi berpengaruh terhadap kejadian 

kusta (p=0,001; OR: 4,68; 95%CI: 2,725- 

8,022). Orang yang tergolong status gizi 

buruk berisiko 4,68 kali tertular penyakit 

kusta dibandingkan orang yang status 

gizinya baik (normal) (Tabel 5). 

Riwayat luka terbuka terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok pernah mengalami 

luka terbuka sebesar 43,5% < dibanding 

responden pada kelompok tidak pernah 

mengalami luka terbuka sebesar 56,5%. 

Faktor riwayat pernah mengalami luka 

terbuka tidak berpengaruh terhadap 

kejadian kusta (p=0,003;OR: 0,47;95%CI: 

0,283–0,782) (Tabel 6). 

Kondisi ekonomi terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok pendapatan kurang 

sebesar 75,0% > dibanding responden pada 

kelompok pendapatan tinggi sebesar 

25,0%. Faktor kondisi ekonomi keluarga 

berpengaruh terhadap kejadian kusta 

(p=0,001;OR:3,31; 95%CI: 1,930-5,660). 

Orang yang tergolong kondisi ekonomi 

keluarga berpendapatan kurang  berisiko 

3.31 kali tertular penyakit kusta 

dibandingkan orang yang kondisi ekonomi 

keluarga berpendapatan tinggi (Tabel 7). 

Elhamangto., et al.,  JEKK. 2 (2) 2017 92

©2017, JEKK, All Right Reserved 

Kebersihan perorangan terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden mengalami 

kejadian kusta pada kelompok kebersihan 

perorangan buruk sebesar 73,4%> 

dibanding dengan kelompok kebersihan 

perorangan baik sebesar 26,6%. Faktor 

kebersihan perorangan berpengaruh 

terhadap kejadian kusta pasca 

kemoprofilaksis(p=0,002;OR:2.35; 95% 

CI:1,378-3,995). Orang yang tergolong 

kebersihan perorangan buruk  berisiko 2,35 

kali tertular penyakit kusta dibandingkan 

yang memiliki kebersihan perorangan baik 


Tingkat pendidikan terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis  

Faktor tingkat pendidikan rendah 

berpengaruh terhadap kejadian kusta 

(p=0,026,OR:1,94, 95%CI: 1,083–3,490). 

Responden dengan tingkat pendidikan 

rendah berisiko 1,94 kali tertular kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis dibanding 

dengan tingkat pendidikan tinggi. 

Penelitian yang dilakukan Pontes et 

al9 menemukan bahwa subjek yang

berpendidikan rendah, pernah mengalami 

kekurangan makanan, kebiasaan mandi di 

badan air terbuka (sungai, danau, kolam) 

sehingga meningkatkan risiko penularan 

kusta di Brazil. Pada subjek yang 

berpendidikan rendah lebih berisiko 

mengalami kejadian kusta dibanding 

dengan subjek yang berpendidikan tinggi 

OR=2,05 (95% CI; 1,29-3,27). Keadaan ini 

dapat disebabkan oleh pengetahuan tentang 

penyakit kusta pada subjek yang 

berpendidikan tinggi dapat memahami 

mekanisme penularan kusta sehingga risiko 

kejadian kusta dapat dihindarkan.9 

Lama kontak terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis  

Faktor lama kontak dengan penderita 

kusta ≥1 tahun berpengaruh terhadap  

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

(p=0,023; OR=2,05; 95%CI=1,105-3,813). 

Job et al10 enemukan bahwa pada penderita

kusta multibasiler yang belum diobati 80% 

ditemukan M. leprae di kulit dan 60% di 

mukosa hidung. Pada penelitian yang sama 

didapatkan hasil bahwa pada orang yang 

kontak serumah dengan penderita kusta 

17% ditemukan M. leprae pada kulit dan 

4% pada mukosa hidung. Dalam penelitian 

ini juga ditemukan bahwa 6(60%) 

penderita kusta multibasiler yang sudah 

mendapatkan pengobatan dengan MDT 

masih ditemukan M. leprae pada kulit dan 

Elhamangto., et al.,  JEKK. 2 (2) 2017 95

©2017, JEKK, All Right Reserved 

4 (40%) masih ditemukan M. leprae pada 

mukosa hidung.10

Mekanisme penularan kusta yang 

pasti belum diketahui, namun kedekatan 

kontak dengan penderita kusta diyakini 

bisa meningkatkan risiko kejadian kusta. 

Penelitian yang dilakukan oleh Noordeen 

pada tahun 1978 di India Selatan 

menemukan bahwa tinggal serumah 

dengan penderita kusta non-lepromatus 

meningkatkan risiko terkena kusta sebesar 

9,5 kali.11 Semakin dekat hubungan

keluarga dengan penderita kusta semakin 

tinggi risiko terkena kusta. Demikian juga 

dengan jarak tempat tinggal, semakin dekat 

bertetangga dengan penderita kusta 

semakin tinggi risiko menderita kusta.12 

Status gizi terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis  

Faktor status gizi buruk pada 

responden berpengaruh terhadap  kejadian 

kusta (p=0,000; OR=5,04; 95%CI=2,761 – 

9,182). Penyakit kusta banyak menyerang 

masyarakat dengan sosial ekonomi rendah. 

Hal ini dikaitkan dengan rendahnya daya 

tahan tubuh, gizi yang kurang baik dan 

lingkungan serta hygiene yang tidak baik.13

Faktor nutrisi dikatakan berperan 

dalam penularan M. leprae. Kejadian kusta 

tampak berkaitan dengan rendahnya 

produksi susu dan gandum. Menurut Berg, 

kondisi nutrisi sangat membaik pada 

pertengahan kedua abad 19, dan juga 

perbaikan pendapatan per kapita membuat 

populasi Norwegia lebih resisten terhadap 

infeksi M. leprae.14 

Kondisi ekonomi keluarga terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis  

Kondisi ekonomi keluarga yang 

berpendapatan kurang berpengaruh 

terhadap kejadian kusta (p=0,000; 

OR=3,25;95%CI=1,775-5,96). Penelitian 

ini sejalan dengan hasil penelitian yang 

dilakukan Muharry di Kecamatan Tirto 

Kabupaten Pekalongan yang telah 

didiagnosis penderita kusta berdasarkan 

pemeriksaan klinis dan laboratorium. 

Sampel diambil berdasarkan fixed disease 

sampling. Hasil analisis multivariat 

menunjukkan bahwa faktor ekonomi 

keluarga yang rendah berpengaruh 

terhadap kejadian kusta (p=0,001 dan 

OR=6,356; 95%CI: 2,212 - 18,267).

Noorden13 menyebutkan faktor etnik,

iklim, migrasi dan kondisi sosial ekonomi 

juga mempengaruhi penularan penyakit. 

Dikatakan bahwa sosial ekonomi rendah, 

kondisi rumah yang buruk dan terlalu padat 

berpengaruh terhadap penularan penyakit 

kusta. Rendahnya angka pasien baru di 

Eropa dihubungkan dengan perbaikan 

keadaan sosial ekonomi.

Pendapatan merupakan salah satu 

faktor yang mempunyai peran dalam 

mewujudkan kondisi kesehatan seseorang. 

Pendapatan yang diterima seseorang akan 

mempengaruhi daya beli terhadap barang-

barang kebutuhan lainnya seperti sandang 

dan papan. Seseorang dengan kondisi 

ekonomi keluarga rendah mempunyai 

risiko 6,356 kali lebih besar menderita 

kusta dibandingkan dengan seseorang yang 

kondisi ekonomi keluarganya baik.2 

Kebersihan perorangan terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

Faktor kebersihan perorangan yang 

buruk berpengaruh terhadap kejadian 

kusta (p=0,001; OR=2,77; 95%CI=1,498-

5,105). Hasil penelitian ini didukung oleh 

penelitian yang dilakukan Muharry2 di

Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan 

yang telah didiagnosis penderita kusta 

berdasarkan pemeriksaan klinis dan 

laboratorium. Sampel diambil berdasarkan 

fixed disease sampling. Hasil analisis 

multivariat menunjukkan faktor kebersihan 

perorangan buruk berpengaruh terhadap 

Elhamangto., et al.,  JEKK. 2 (2) 2017 96

©2017, JEKK, All Right Reserved 

kejadian kusta (p=0,000 dan OR=15,746; 

95%CI=4,159-59,612).

Kebersihan perorangan adalah 

perawatan diri dari individu untuk 

mempertahankan kesehatannya yang 

dipengaruhi oleh nilai serta keterampilan. 

Di dalam dunia keperawatan, kebersihan 

perorangan merupakan kebutuhan dasar 

manusia yang harus senantiasa terpenuhi. 

Kebersihan perorangan termasuk dalam 

tindakan pencegahan primer yang spesifik. 

Kebersihan perorangan menjadi penting 

karena kebersihan perorangan yang baik 

akan meminimalkan pintu masuk (port of 

entry) mikroorganisme dan pada akhirnya 

mencegah seseorang terkena penyakit.15 

Status vaksinasi BCG terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis  

Hasil penelitian yang dilakukan oleh 

Haryadi dan Hardyanto16 di Kabupaten

Brebes, Jawa Tengah pada analisis 

multivariat menunjukkan bahwa terdapat 

hubungan yang signifikan antara parut 

BCG dengan kejadian kusta (OR: 0,37; 

95% CI; 0,215-0,638). Faktor parut BCG  

melindungi (protektif) terhadap kejadian 

kusta sebesar 5,5% dan Parut BCG 

memberi perlindungan terhadap kejadian 

kusta sebesar 63%.16

Bacille Calmette Guerin (BCG) 

dibuat dari satu strain dari Mycobacterium 

bovis yang dilemahkan. Vaksin ini 

digunakan utamanya untuk pencegahan 

terhadap penyakit yang disebakan oleh 

Mycobacterium tuberculosis (TBC).17 Pada

akhir tahun 1930 muncul dugaan bahwa 

BCG juga mempunyai daya lindung 

terhadap penyakit kusta. Ditemukan bahwa 

vaksin BCG memberikan perlindungan 

terhadap kejadian kusta sebesar 80% pada 

kelompok umur 0-15 tahun di Uganda. 

Vaksinasi BCG juga dapat memberikan 

perlindungan sebesar 40% pada kelompok 

umur 0-4 tahun di Burma. Vaksinasi BCG 

memberikan perlindungan sebesar 46% di 

populasi dengan perlindungan tertinggi 

pada kelompok umur 5-14 tahun di 

Karimui. Vaksinasi BCG juga diketahui 

dapat melindungi seseorang dari terkena 

gejala klinis kusta antara 20-80% di 

berbagai tempat.18 

Riwayat luka terbuka terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis  

Faktor riwayat luka terbuka 

merupakan faktor protektif terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

(p=0,002; OR=0,37; 95%CI=0,200-0,699). 

M. leprae sering kali masuk melalui luka

pada kulit yang terkontaminasi atau

inokulasi dan melalui mukosa nasal.

Responden merawat luka-luka pada kulit

dengan teratur dan baik sehingga kecil

kemungkinan untuk tertular kusta melalui

luka terbuka.

Kondisi rumah terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis 

Faktor kondisi rumah pada uji 

bivariat tidak terbukti sebagai faktor risiko. 

(p=0,501;OR:1,20,95%CI:0,707-2,033). 

Kondisi rumah responden di Sampang 

sebagian besar masih semi permanen yang 

kebersihannya terjaga. Mereka memiliki 

budaya yang khas yaitu kamar mandinya 

terpisah dari rumah induk dengan alasan 

agar tidak mengundang rayap yang akan 

merusak konstruksi rumah, dan juga ada 

tersedia mushola-mushola sebagai tempat 

ibadah di setiap lingkungan mereka.